ENSIKLIK PACEM IN TERIS DAN RELEVASINYA DALAM MEMBANGUN ‘PAPUA TANAH DAMAI’

Honaratus Pigai
1. Pengantar
Damai di bumi sangat dirindukan oleh semua orang di sepanjang zaman.” Demikian kalimat awal Ensiklik Pacem in Terris. Ensiklik Pacem in Terris (damai di bumi) merupakan salah satu ensiklik yang dikeluarkan oleh Beato Yohanes XXIII. Ensiklik ini dikeluarkan pada tanggal 11 April 1963.[1]
Ensiklik ini telah lama diedarkan dan telah banyak terjadi perubahan dalam dunia dan Ensiklik ini masih relevan untuk situasi dunia kita. Suatu dunia dan abad yang baru. Ensiklik ini masih menggema dan menyuarakan perdamaian bagi seluruh umat manusia dewasa ini.

Apa yang dikatakan dalam Ensiklik tersebut merupakan suara Gereja yang menolak segala bentuk kekerasan, peperangan, dan pelanggaran hak asasi manusia. Yang ditekankan dalam Ensiklik yaitu, penolakan terhadap hal-hal yang berlawanan dengan perdamaian atau adanya nilai kekerasan dalam kehidupan manusia.

Mengapa? Karena dari hari ke hari perdamaian semakin menjauh dari dunia ini. perdamaian yang sepertinya sulit untuk diraih. Dalam suasana demikian, manusia dihantui oleh rasa takut, cemas, dan kuatir yang tak kunjung berakhir. Padahal, setiap manusia dalam dirinya masing-masing sangat merindukan perdamaian. Manusia menginginkan perdamaian menguasai hatinya dan menguasai seluruh kegiatan aktivitasnya sehari-hari. Singkatnya, manusia membutuhkan perdamaian dalam segala sesuatu yang dilakukannya sebagai manusia.

Berkaitan dengan itu, situasi Papua yang tidak menentu, karena konflik terus-menerus terjadi dan kedamaian tidak terasa. Maka ensiklik ini sangat relevan untuk menjelaskan kondisi Papua sebelumnya dan khususnya akhir-akhir ini di Papua.

2. Ajaran Sosial Gereja
Ajaran Sosial Gereja (ASG) adalah doktrin yang disusun dan diajarkan oleh Gereja, dalam kapasitas sebagai pengajar bangsa-bangsa.[2] Dalam penyusunannya Gereja memperhatikan dua aspek, yakni Injil dan Realitas hidup masyarakat dalam segala aspek. Gereja menginterprestasi peristiwa-peristiwa dalam sejarah, dengan bantuan Roh Kudus dan dalam terang semuanya yang diwahyukan melalui Yesus Kristus. Sebab itu, ASG lahir dari pertemuan antara Berita Injil dan masalah-masalah yang muncul dalam kehidupan masyarakat. ASG dimaksudkan untuk membimbing prilaku kristiani, sehingga tidak digolongkan dalam teologi, terutama teologi moral.
Dalam kenyataan pada Yesus Kristus dan kontinuitas dari tradisi Gereja, Gereja terpanggil untuk mewartakan nilai-nilai dan ajarannya guna membantu manusia dalam perjalanannya menuju kebenaran dan kebebasan. ASG berkembang dan dikembangkan sesuai dengan situasi historis yang berubah. Sehingga setiap dokumen memuat penilaian Gereja atas masalah sosial pada zamannya.
Melalui ajaran-ajaran sosialnya, Gereja mewartakan prinsip-prinsip untuk menilai dan memperbaharui situasi dan system sosial dengan sasarannya agar terjadi perubahan yang mendalam yakni, pembaharuan hati dan perbaikan struktu. Sebab itu, ASG perlu diketahui oleh setiap orang katolik, agar tahu apa yang mesti diperjuangkan dan diperbaharui dalam hidup pribadi, keluarga dan masyarakat secara umum (entah bersama sesama agama maupun berbeda agama).

3. Einsiklik Pacem In Teris
3.1. Abad Penuh Pergolakan
Ensiklik Pacem in Terris muncul dalam suasana mencekam yang sedang melanda dunia. Abad ke-20 merupakan abad penuh pergolakan. Suatu abad yang dikuasai oleh egoisme manusia. Dalam abad itu, terjadi banyak pemerkosaan terhadap hak asasi manusia. Begitu banyak terjadi pertumpahan darah dan korban berjatuhan tak terhitung jumlahnya.
Di awali oleh revolusi ekonomi yang melanda beberapa negara. Ajaran Karl Mark menjadi dewa yang menguasai sebagian dunia. Di sana munculnya materialisme yang menguasai manusia. Manusia begitu serakah. Ia haus akan harta dunia. Pandangan ini dimaksudkan juga untuk menyingkirkan hal-hal yang menghalangi kemajuan dalam bidang ekonomi. Yang dimaksud adalah nilai-nilai iman.
Iman telah meninabobokan manusia sehingga manusia enggan berusaha, demikian pendapat mereka. Karl Mark sendiri tidak menolak Tuhan. Ia hanya menolak ‘cara’ atau praktek beriman yang membelenggu kemajuan ekonomi, tetapi para pengikutnya menafsirkan ajarannya secara lain. Akhirnya, ajaran itu berubah menjadi permusuhan besar-besaran terhadap Gereja, kaum beriman, para pastor, suster, dan lain-lain.
Akibat dari penyingkiran nilai iman dan keserakahan manusialah, maka yang terjadi berikutnya adalah persaingan. Persaingan bukan saja dalam bidang ekonomi, namun merambat ke bidang lain seperti politik dan persenjataan. Dari hari ke hari persaingan itu semakin memanas. Akibat persaingan ini adalah munculnya dua perang besar. Perang dunia pertama dan kedua yang memakan korban begitu banyak, baik dari segi materi maupun nyawa manusia. Pada saat yang bersamaan muncul beberapa tokoh penghancur yang menjadi penyebab munculnya peperangan besar itu. Mereka menjadi inspirator munculnya ketegangan yang menguasai dunia, seperti: Lenin, Stalin, Adolf Hitler, dan lain-lain.[3]
Ketegangan tidak berhenti, tetapi berlanjut terus. Perang dingin pun menyusul kemudian. Perang ini telah menjadi sesuatu yang paling menakutkan dalam sejarah umat manusia. Negara-negara maju yang berkepentingan mulai meluaskan pengaruhnya secara diam-diam. Hal ini ditandai dengan terpecahnya menjadi negara-negara Blok Timur dan Blok Barat.
Namun, syukur kepada Allah karena perang dingin tidak meletus. Pecahnya negara Uni Soviet, menjadi tanda berakhirnya perang dingin. Persaingan antara Blok Timur dan Blok Barat pun dengan sendirinya mereda. Walaupun setelah itu, muncul suatu fase baru dalam peradaban yang melanda manusia modern sampai saat ini.[4]
Seolah-olah kelanjutan dari keadaan sebelumnya, ketegangan masih terus berlangsung. Perang besar telah terjadi yaitu Perang Teluk antara Irak dan Kuwait. Hingga saat ini, ancaman perang ini terus berlanjut dan telah berubah menjadi suatu permusuhan dan saling membenci antara Irak dan Amerika dengan sekutu-sekutunya. Selain itu, negara-negara - tidak terkecuali miskin atau kaya - berlomba-lomba mendemonstrasikan kekuatan senjatanya. Bahaya produksi senjata nuklir menjadi isu dan ancaman besar yang melanda dunia.[5]
Demikianlah rentetan peristiwa yang terjadi pada abad yang lalu. Dan hal itu masih berlanjut sampai abad sekarang ini. Kalau dilihat semua peristiwa yang terjadi itu, dari segi iman satu hal yang tidak dapat dilupakan. Abad ke-20, merupakan abad para martir. Banyak umat beriman yang mati karena membela imannya. Korban Kamp. Konsentrasi memakan jutaan jiwa. Pembunuhan massal terhadap orang kristen merajalela di mana-mana. Banyak kaum beriman digiring dan disekap di dalam penjara. Pengorbanan para martir di Korea, Jepang, Vietnam, dan Uganda menjadi saksi keganasan abad ke duapuluh ini. Masih banyak lagi pengorbanan para martir yang terjadi dalam abad duapuluh.[6]
Dalam rentetan peristiwa di atas, Ensiklik Pacem in Terris seolah-olah tidak mempunyai pengaruh apa-apa. Buktinya tidak adanya suatu perubahan dalam tatanan kehidupan manusia. Kekerasan terjadi di mana-mana. Peperangan mengancam setiap saat. Akan tetapi, inilah saatnya – di abad yang baru ini – kita kembali menggemakan suara perdamaian sebagaimana telah digagas dalam Ensiklik tersebut.
3.2.Perdamaian Melalui Sikap Hormat Pada Tatanan Yang Ditetapkan Allah
Argumen-argumen Paus Yohanes XXIII menekankan bahwa Allah adalah dasar tatanan moral. Baginya, masyarakat yang mendambakan kedamaian harus menjunjung tinggi dan menghormati “the order laid down by God”. Hak-hak asasi manusia mendukung tatanan tersebut. Atas hak-hak tersebut ditegakkan suatu bangunan dokumen; hubungan antarmanusia, hubungan antarkomunitas-komunitas politik, hubungan antaragama dan lainnya. Dalam kerangka demikian Paus menegakkan bahwa perdamaian memiliki berbagai dimensi, dari hubungan individu hingga hubungan internasional.[7] Oleh karena itu, dalam kehidupan setiap manusia tidak terlepas dari hubungan eksistensial. Setiap manusia yang mendiami bumi mesti saling menjaga dan membangun kehidupan damai, karena kedamaian adalah dambaan kita bersama.
Paus Yohanes XXIII menekankan perdamaian merupakan suatu tatanan yang ditentukan dalam masyarakat secara universal dalam empat prinsip fundamental, yakni kebenaran, keadilan, cintakasih dan kebebasan.[8] Dalam keempat prinsip inilah setiap manusia mesti membangun dan menegakkan perdamaian, karena tanpa ditegakkannya keempat prinsip ini perdamaian tidak akan tercipta dan malah menimbulkan perbagai macam konflik baru. Kebenaran, keadilan, cintakasih dan kebebasan mesti ditegakkan dalam kondisi masyarakat yang tidak aman dan damai. Pada dasarnya setiap manusia memiliki kerinduan untuk damai, tetapi hanya karena keempat prinsip ini diabaikan dan tidak ditegakkan serta tidak ada kemauan yang mendasar untuk menciptakan keadaan damai. Maka seringkali keadaan ketidakdamaian menjadi berkuasa dalam kehidupan manusia.
Perdamaian diciptakan demi menghormati hak-hak azasi manusia, karena manusia pada dasarnya adalah makhluk yang berasal dari Sang Damai (Allah). Pandangan tentang hak-hak azasi manusia dapat dilihat dalam Pacem in Terris art. 9, 11, 12 dan 27 seperti; hak menyangkut nilai-nilai moral dan kultural, hak-hak religius, hak hidup keluarga (hak orang tua untuk mendidik anak-anak mereka, kesamaan antara laki-laki dan perempuan), hak ekonomis (hak untuk bekerja, hak atas kondisi kerja yang manusiawi, hak untuk berpartisipasi dalam managemen), hak politik, dan hak atas kemerdekaan bergerak dan migrasi. Maka, perlu untuk saling menghormati dan menghargai sesama manusia sebagai manusia.
3.3.Damai Sebagai Karunia Allah
Damai sendiri sudah merupakan nama Allah, “Tuhan itu damai” (Hak 6:24). Allah sendiri telah memperlihatkan diri-Nya kepada manusia dalam diri Yesus Kristus dan menunjukkan ke-Allah-an sebagai pembawa kedamaian bagi segenap umat manusia.[9] Dalam kitab suci 2Kor 13b:11 sangat jelas menguraikan bahwa Allah sebagai sumber dari kedamaian itu “terimalah nasehat-Ku” sehati sepikirlah kamu, dan hiduplah dalam damai sejahtera; maka Allah sumber kasih dan damai sejahtera akan menyertai kamu.” Paulus dalam suratnya ini mau memperlihatkan kepada umatnya yang hidup dalam perpecahan dan konflik bahwa perlu ada pembaharuan hidup dengan saling mengampuni antarumat agar damai teripta antarsesama manusia itu. Allah sendiri adalah sumber damai datang dan menyatakan kedamaian dalam konflik hidup itu. Maka diharapkan membangun persekutuan demi mencapai kedamaian bersama.
Damai itu pertama-tama dan terutama adalah karunia Allah. Allah sendiri menjadi pendamai dan mengaruniakan damai itu kepada manusia untuk melanjutkan misi-Nya. Misi Allah mendapatkan peran utama antarasesama manusia melalui hokum utama “kasihilah Tuhan Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hokum yang terutama dan yang pertama. Dan hokum yang kedua yang sama dengan itu, kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Mat 22:33-39). Hokum ini dibuat demi menghormati setiap martamat manusia sebagai manusia dan mengharga manusia sebagai ciptaan dan citra Allah yang sempurna. Hal ini ditetapkan demi terjalin suatu kedamaian manusia universal, tanpa membedakan suku, budaya, agama dan lain sebagainya. Pada posisi ini manusia dilihat sebagai yang terhormat dari pada ciptaan lain yang ada di bumi.
Pada tempat ini damai merupakan tujuan akhir dan hidup menusia. Manusia hidup di bumi ini hanya sebagai “titipan” atau sementara, maka yang diperlukan adalah hidup damai di bumi untuk mencapai kedamaian absolute bersama sumber damai (Allah). Damai juga adalah nama yang diberikan kepada Mesias, Raja Damai. Raja yang bisa membawa damai kepada manusia, yang mengalami ketidakdamaian dalam kehidupan.
Yesus Kristus adalah damai kita yang memperbaharui relasi antara sesama manusia (Ef 11:22). Damai memperbaharui kembali relasi yang retak, yang dihancurkan oleh dosa antara manusia dengan Allah, sesama dan alam. Damai untuk mendapatkan kekuatan rohani dan hidup menurut kehendak Allah, bukan kehendak manusia, termasuh kehendak-Nya akan perdamaian.
3.4.Damai Sebagai Proyek Manusia
Damai Kristus telah dipercayakan kepada murid-murid-Nya. Kristus mempercayakan misi kedamaian itu kepada murid-murid-Nya untuk melanjutkannya kepada dunia. “damai sejahtera Ku-tinggalkan bagimu.[10] Damai sejahtera Ku-berikan kepadamu, dan apa yang Ku berikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu. Janganlah gelisah dan gentar hatimu” (Yoh 14:27). Tugas mulia yang ditinggalkan dan diberikan Tuhan untuk menyampaikan kedamaian itu. Oleh karena itu, pengikut Kristus dipanggil menjadi pembangun perdamaian di tengah pluralisme agama dan budaya, yang sering mengalami situasi kekerasan dan penindasan antara sesama manusia.
Damai yang diperjuangkan bukanlah suatu keadaan yang statis dimana dapat dicapai sekali untuk selamanya. Damai itu diperjuangkan terus-menerus, tanpa mengenal ruang dan waktu. Damai diperjuangkan terus dengan jalan membela hidup, menghormati hak azasi manusia dan menghargai martabat kemanusiaan.
Berkaitan dengan itu, memperjuangkan kedamaian merupakan tanda sebagai anak Allah. Karena setelah Yesus memberikan tugas melanjutkan visi kedamaian kepada Para Murid-Nya dan visi itu sekarang menjadi tugas Gereja, sehingga Gereja mesti hadir dalam penderitaan dan kerinduan umat akan kedamaian di dunia. Karena itu, lebih-lebih menjadi tugas kita sebagai pengikut-Nya. Kita dapat melanjutkan visi itu, demi terciptanya kedamaian dan ketentraman manusia di tengah gejolak dan konflik hidup manusia.
3.5.Empat Prinsip Perdamaian
Di tengah gejolak yang melanda dunia ini, manusia cenderung bersikap skeptis, bahwa ‘Perdamaian tidak dapat dicapai.’ Benarkah demikian? Ensiklik Pacem in Terris berbicara kepada semua orang bahwa kita semua menjadi bagian dari keluarga manusia dan memancarkan terang atas kehendak bersama bangsa-bangsa di manapun mereka berada untuk hidup aman, adil, dan memiliki harapan di masa yang akan datang. Ensiklik ini memberi harapan akan terwujudnya suatu tatanan hidup antar manusia.
Dalam Ensiklik itu, inspirator Konsili Vatikan II itu menyodorkan empat hakiki yang menjadi syarat perdamaian yang juga terdapat dalam jiwa manusia: kebenaran, keadilan, cinta kasih, dan kemerdekaan.
· Kebenaran akan membangun perdamaian apabila setiap orang secara tulus mengakui bukan hanya haknya sendiri tetapi juga kewajibannya terhadap sesama manusia. Tugas manusia bukan saja mencari kebenaran tetapi juga menanamkan kebenaran itu kepada orang lain. Kebenaran yang dimaksud bukan sekedar slogan atau teori semata tentang kebenaran, melainkan kebenaran yang dihayati sendiri, yang dijiwai dan yang diaktualkan dalam kesehariannya. Kebenaran itu tidak lain adalah Allah sendiri. Menghayati kebenaran berarti menghayati hidup Allah sendiri.
· Keadilan akan membangun perdamaian, jika di dalam pelaksanaannya setiap orang menghormati hak orang lain dan benar-benar melaksanakan tugas yang ditentukan bagi mereka. Dengan menghormati hak orang lain berarti, manusia mengakui keberadaan sesamanya. Keberadaannya sebagai makhluk yang memiliki hak dan martabat sebagai ciptaan Tuhan.
· Cinta kasih akan membangun perdamaian, apabila orang-orang merasakan bahwa kebutuhan orang lain sebagai kebutuhannya sendiri dan membagikan hartanya kepada sesama, terutama nilai-nilai akal budi dan semangat yang mereka miliki. Cintakasih dalam ajaran kristiani menduduki tempat utama. Cintakasih menyangkut segala-galanya. Dengan membagikan segala apa yang ada pada kita, berarti kita membangun suatu dunia yang penuh damai. Membagi cintakasih berarti membagi perdamaian.
· Kemerdekaan akan membangun perdamaian dan membuatnya berkembang, jikalau di dalam memilih sarana untuk tujuan itu, orang-orang bertindak sesuai dengan akal dan bertanggungjawab akan tindakannya sendiri. Kemerdekaan tidak berarti manusia bebas melakukan sesuatu tanpa dibatasi. Kemerdekaan yang sejati justeru merupakan suatu tindakan yang didasarkan pada kemampuan manusia untuk bertanggungjawab atas segala tindakannya. Yang dimaksudkan disini adalah tindakan bukan hanya sekedar tindakan saja, melainkan tindakan benar yang menghasilkan suatu perdamaian.
Dari empat hal tersebut di atas dapatlah disimpulkan bahwa perdamaian di samping sebagai milik manusia sebagai sesuatu yang berasal dari kodratnya, juga berarti bahwa perdamaian merupakan suatu keaktifan manusia karena perdamaian merupakan karya manusia sendiri. Untuk tercapainya suatu perdamaian, diperlukan peran serta manusia di dalamnya. Peran serta itu tidak lain daripada mengaktifkan segala kemampuan jiwanya, yaitu hidup dalam kebenaran, berlaku adil, mengamalkan cinta kasih, dan menciptakan kemerdekaan.
4. Relevansi Agama-Agama Dalam Upaya Menciptakan Papua Tanah Damai
4.1.Upaya Agama-Agama Dalam Menciptakan Papua Tanah Damai[11]
Pertama, Partisipasi. Partisipasi berarti terbuka untuk bekerja sama dengan pihak lain, untuk mengungkapkan pandangan dan pikitan tentang perdamaian. Hal ini diwujudkan dalam bentuk kampanye damai dengan membuat laporan yang jelas untuk mendukung suara masyarakat. Agama-agama di Papua mengambil bagian terpenting dalam hal ini untuk menciptakan Papua tanah damai.
Kedua, Kebersamaan. Kebersamaan itu untuk membangun ikatan erat dalam membangun kesatuan dalam keberbedaan latar belakang, agama, dan lainnya. Dengan demikian akan menjadi satu ikatan yang memperjuangkan nilai yang lebih tinggi antara umat manusia di Papua. Maka mesti dihindari dari sikap perbedaan (amber dan komin) dalam membangun kedamaian universal di Papua.
Ketiga, Komunikasi. Komunikasi merupakan kunci untuk berpartisipasi dalam rangka membangun kedamaian. Tanpa adanya komunikasi, maka yang terjadi adalah tidak terjadi relasi antara sesama atau agama dalam membangun kedamaian itu.
Keempat, kesejahteraan. Semua orang menginginkan kesejahteraan dalam hidup. Bila makan-minum mencukupi, tempat tinggal yang layak, kesehatan terjamin, pendidikan dapat berjalan sesuai dengan cita-cita dan lain sebagainya. Maka kesejahteraan dapat dirasakan dan dialami masyarakat, karenanya masyarakat pasti tidak menciptakan berbagai konflik. Yang ada adalah kedamaian dalam tatanan kehidupan manusia.
Kelima, Rasa Aman. Rasa aman merupakan dambaan, yang mendorong manusia untuk berjuang mendapatinya dengan caranya masing-masing. Maka menciptakan tanah damai adalah tugas kita semua yang mendiami tanah Papua.
Keenam, Keadilan. Keadilan dan kebenaran merupakan nilai yang paling tinggi dalam praktek hidup kita. Kita sulit menciptakan “Papua Tanah Damai” karena adanya kepentingan pribadi yang tidak memperhatikan kepentingan universal. Kepentingan ini membuat banyak pejabat bertindak tidak adil dengan mengadakan korupsi, kolusi dan nepotisme, demi kepentingan pribadinya. Sikap ini merugikan banyak orang. Selayaknya pemerintah menjadi teladan untuk kedamaian rakyatnya, tetapi malah menjadi teladan kebencian, kerakusan dan ketidakbenaran. Ini suatu fakta cela yang seringkali mendatangkan konflik, maka dambaan atas kedamaian menjadi hilang di tengah pemerintah.
Ketujuh, Kemandirian. Manusia merupakan pribadi yang mampu mengatur hidupnya sendiri. Itu tidak berarti manusia menutup diri dengan orang lain, melainkan demi menciptakan tanah damai di Papua ia berusaha atas diri untuk mengembangkan kesejahteraan peribadi dalam hidupnya. Dengan demikian sambil berjuang atas hidupnya ia pun terbuka memperhatikan orang lain yang belum sejahtera.
Kedelapan, Harga Diri. Dalam menjalani kehidupan di bumi mesti ada sikap saling menghargai manusia sebagai manusia. manusia mesti saling menjaga dan memelihara harga diri sendiri dan sesamanya demi kebaikan bersama. Seringkali karena kurang menjaga harga diri menimbulkan masalah baru. Maka menghargai dan mengakui eksistensi manusia adalah awal menciptakan “Papua Tanah Damai”.
Kesembilan, Harmoni. Menjaga keharmonisan dalam kehidupan manusia adalah hak semua orang, karena manusia adalah ciptaan yang paling mulia. Dewasa ini, orang lupa akan keutuhan yang bersumber dari Yang Pencipta. Kita sering melihat manusia yang lain sebagai objek dari kita dan ingin menghindar darinya. Ini berarti tanah damai bisa saja menjadi slogan belaka. Maka, dalam seluruh seluk-beluk kehidupan manusia mesti memandang manusia sebagai manusia yang bersumber dari satu Allah dan akan kembali kepada-Nya.
4.2. Relevansi Membangun Papua Tanah Damai
Dari Penjelasan di atas nampak bahwa Ensiklik Pacem in Terris yang diterbitkan 47 tahun yang lalu masih relevan bagi situasi Ppaua masa kini, terutama dengan kampanye perdamaian dengan moto “Papua Tanah Damai”, yang dipimpin oleh para pemimpin agama di Tanah Papua. Maka, ada beberapa relevansi yang ditemukan dalam tulisan makalah ini adalah seperti berikut;
Relevansi pertama adalah bahwa “Papua Tanah Damai” merupakan visi masa depan bersama dari semua orang yang hidup di tanah Papua. Pengertian tentang “Papua Tanah Damai” tidak boleh dibatasi hanya pada tidak adanya perang di Tanah Papua. Perlu ditekankan bahwa “Papua Tanah Damai” adalah hasil dari penegakkan keadilan dan pengembangan yang otentik. Setiap orang dan lembaga di Tanah Papua, baik secara pribadi maupun bersama, dipanggil untuk terlibat dalam segala upaya menciptakan “Papua Tanah Damai”.
Kedua, “Papua Tanah Damai”apabila tidak akan tercipta apabila, masih terdapat ketidakadilan, ketidaksamaderajatan, dan ketidakseimbangan. Pendertiaan karena bencana alam dan buatan manusia, dan hak milik pribadi dijadikan absolut dan mengorbankan prinsip kepentingan umum. Maka, aspek-aspek ini harus dikesampingkan demi kepentingan bersama dalam membuangun slogan yang dibangun para tokoh agama “Papua Tanah Damai”.
Ketiga, sambil menekan bahwa setiap manusia adalah pencipta, penanggungjawab utama dari hidupnya, Ensiklik mengajarkan bahwa kita saling bahu-membahu menciptakan kedamaian atas dasar kebenaran, keadilan cintakasih dan kemerdekaan/kebebasan yang universal. Inisiatif-inisiatif pribadi mesti didorong. Perlu diupayakan pula kerjasama dan dialog dengan berbagai pihak dan program-program yang jelas dan terencana untuk menciptakan tanah damai di Papua.
Keempat, untuk menciptakan “Papua Tanah Damai”, perlu digalakkan satu visi. Visi ini tidak hanya dititikberatkan pada pertumbuhan ekonomi di Papua, tetapi mencakup kemajuan pribadi manusia dalam keseluruhan aspek kehidupan. Visi mesti dialamatkan ke setiap dan semua orang, dilaksanakan guna merubah kondiri yang kurang manusiawi ke lebih manusiawi, memerangi ketidakadilan, ketidaksejahteraan (ekonomi, sosial, budaya), diskriminasi, ketidakseimbangan (kaya-miskin), mengatasi konflik sosial, membebaskan manusia dari bentuk perbudakan. Semuanya ini, bersasaran pada humanism yang sempurna (terbuka terhadap dirinya sendiri, sesame dan Allah).[12] Akhirnya, demi menciptakan “Papua Tanah Damai” kita saling bahu-menbahu mendukung ide yang sudah dirancang P. Neles Tebay, Pr – DIALOG JAKARTA-PAPUA. 

5. Penutup
Ensiklik Pacem in Terris yang dikeluarkan 47 tahun yang lalu, masih sangat relevan dan memberikan banyak sumbangan pemahaman dalam membangun tanah yang damai. Yang penting sekarang adalah bagaimana merelevansikan ensiklik dalam membangun kedamaian itu. Dalam tulisan ini saya mencoba merevansikan ensiklik Pacem in Teris yang member pemahaman tentang kedamaian universal itu dengan “Papua Tanah Damai” yang pernah dicanangkan oleh tokoh-tokoh agama di Papua.
“Papua Tanah Damai” merupakan sebuah teologi. Teologi yang ada di Papua untuk menjawab penderitaan masyarakat, tetapi hingga saat ini teologi ini masih belum menjawab kebutuhan masyarakat. Walaupun banyak usaha dilakukan oleh tokoh agama-agama di Papua, tetapi masih terganjal oleh berbagai macam nilai kekerasan yang hidup di tanah Papua. Oleh karena itu yang penting sekarang adalah dialog antara kedua bela pihak yang sedang bertikan sekarang. hal ini perlu dilakukan demi terciptanya kedamaian di Papua.
Sumber Bacaan
Hermawan, J. Budi “Membangun Budaya Damai dan Rekonsiliasi, Tim SKP Jayapura: 2006.
Kristiyanto, Dr. Eddy OFM, Diskursus Sosial Gereja, Malang: Dioma, 2006.
Tebay, P. Neles Pr. Paper: Teologi Papua Tanah Damai-Sebuah Perspektif Gereja Katolik: Lokakarya yang diselenggarakan oleh STFT “FT”: November 2007.
Tebay, P. Neles Pr. Paper: Ensiklik Populorium Progressio dan Kaitan dengan Teologi Papua Tanah Damai, Abepura: 2009.



Catatan Kaki:

[1] [1] Dr. Eddy Kristiyanto, OFM, Diskursus Sosial Gereja, Malang: Dioma, 2006. Hal. 79.
[2]Lihat Ensiklik Mater et Magistra, No.1
[4] Dr. Eddy Kristiyanto, OFM, Op. Cit., Malang: Dioma, 2006. Hal. 80
[5]Ibid., Hal. 80-82
[6]http://www.parokiku.org. Op. Cit.,
[7]Dr. Eddy Kristiyanto, OFM, Op. Cit., Dioma, 2006. Hal. 85
[8]Ibid., hal. 86.
[9]P. Neles Tebay, Pr. Paper: Teologi Papua Tanah Damai-Sebuah Perspektif Gereja Katolik: Lokakarya yang diselenggarakan oleh STFT “FT”: November 2007. Hal. 3
[10]Ibid., hal, 4
[11]Baca Selengkapnya, J. Budi Hermawan, “Membangun Budaya Damai dan Rekonsiliasi, Tim SKP Jayapura: 2006. Hal, 32-41
[12]P. Neles Tebay, Pr. Paper: Ensiklik Populorium Progretio dan Kaitan dengan Teologi Papua Tanah Damai, Abepura: 2009. Hal. 8.

Share:
spacer

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"...Sobat berikanlah tanggapanmu atas tulisan di atas..."